Jakarta – KH. As’ad Said Ali menceritakan seorang kyai terkemuka dan sekali gus tokoh masyarakat Betawi Kyai Sukron Makmun memperingatkan dengan nada keras terhadap elite politik nasional tentang bahaya politik uang terutama dalam setiap pileg dan pilkada.Pada intinya negara dan bangsa akan hancur kalau politik dikendalikan oleh “uang” melalui apa yang kita kenal dengan “ money politik “.
Seorang Kyai terkemuka di Banten juga pernah membahas masalah ini secara khusus dua tahun yang lalu ketika kami sowan ke pesantren beliau. Intinya kurang lebih sama. Beliau dalam kasus money politik berpendapat bahwa penerima money politik tidak bisa disalahkan karena mereka tidak memahami konsep money politik. Mereka hanya tahu bahwa uang yang diterima seperti sejenis sedekah dari orang kaya terhadap kaum yang lemah.
Para pakar politik sejauh ini menilai bahwa demokrasi kita masih bersifat “ prosedural – transaksional” atau demokrasi pontang panting tidak jelas arahnya. Yang sudah pasti dalam setiap pileg dan pilbup/pilgub, baik elite maupun khalayak umum menganggap sebagai pesta demokrasi – suatu narasi yang mengandung pesan hura – hura.
Pemilu bebas sejak 1999 (paska Reformasi ) lebih merupakan eforia untuk merayakan kebebasan yang terbelenggu selama tiga dekade mulai era “demokrasi terpimpin’ sampai dengan “demokrasi Pancasila”. Nyaris tidak dijumpai adanya politik uang dalam pemilu bebas pertama.
Dalam pemilu 2004, mulai dikenal money politik meskipun relatif kecil mungkin karena masih berlaku sistem nomor urut, bukan siapa pemenang suara terbanyak. Sejak 2009, kursi DPR diberikan kepada Caleg yang memperoleh suara terbanyak dan saat itulah money politik menjadi trending dan berlangsung hingga saat ini.
Keprihatinan para kyai itu sesungguhnya mewakili opini publik terutama kaum ilmuwan, budayawan, tokoh tokoh ormas dan tokoh tokoh berbagai agama. Oleh karena itu para politisi partai politik tidak boleh mengabaikannya, karena ormas ormas keagamaan, budaya, berbagai golongan masyarakat dan kelompok kepentingan mempunyai andil besar sejak periode pra kemerdekaan dan revolusi fisik hingga saat ini.
Ormas ormas tersebut tidak terwakili secara proporsinal dalam DPR dan MPR. Memang ada DPD yang mewakili daerah, tetapi baik DPD ataupun MPR kewenangan politiknya tidak sekuat politisi yang seluruhnya mewakili suara partai politik. Mungkin dari sinilah kita bisa memahami persoalan yang dihadapi oleh demokrasi kita yang bernuansa money politics.
“Sistem politik kita sekarang ini berdasarkan pada amandemen UUD 2002 dan mulai berlaku pada 2004. UUD amandemen 2002 menyalin deklarasi HAM universal yang merupakan kaidah sistem demokrasi Barat. Akibatnya sistem politik kita sejak itu secara tidak disadari meniru sistem politik yang berdasarkan liberalisme atau Neo – Leberalisme yang tidak sinkron dengan nilai nilai budaya bangsa,” jelas mantan Waka-BIN tersebut kepada awak media melalui keterangan tertulis, Senin 24/10/22.
Salah satu ciri utama dari sistem politik Barat sesuai perjalanan sejarahnya adalah peranan golongan menengah pemilik modal / industri sangat besar yang mengendalikan politik partai agar selaras dengan kepentingan bisnis mereka. Sistem politik liberal seperti itu cocok dengan kultur mereka yang materialistis, individualistis dan sekularistis yang menganggap agama bukan urusan publik.
Nilai nilai Liberalisme tersebut tertuang dengan gamblang dalam pasal 28 UUD amandemen 2002 dari pasal 28 ( a ) sampai 28 ( i ) yang mulai berlaku pada 2004. Kita telah terjebak campur tangan asing secara halus dalam proses amandemen dan hal itu pernah saya tulis dalam buku “ Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, LP3 S, tahun 1999.
Belum terlambat untuk memperbaiki pasal 28 UUD amandemen 2002 guna menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Dalam hal ini perlu penambahan beberapa ayat khususnya pasal 28 huruf Y yang pada intinya memuat nilai kearifan lokal bangsa yang bisa menjadi penangkal nilai nilai asing yang mengancam keselamatan bangsa termasuk didalamnya bahaya dari money politik. (Red 01)