Jakarta – Ekonomi Indonesia terpantau tetap relatif kuat di tengah guncangan pasar global yang dipengaruhi oleh kebijakan ‘hawkish’ bank sentral Amerika Serikat (AS) dan fenomena suku bunga tinggi alias ‘higher for longer’.
Kondisi global akibat arah bank sentral AS dan suku bunga tinggi sebenarnya menekan nilai tukar rupiah. Rupiah pada pagi ini, Rabu 4/10/23, diperdagangkan pada level Rp 15.600, menurut data Refinitiv.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti memastikan ekonomi domestik sebenarnya relatif aman di tengah gejolak global ini.
Buktinya, kata Destry, Indonesia bisa tumbuh 5,17% pada kuartal III lalu. Adapun, pada kuartal III, BI berharap ekonomi Tanah Air masih bisa tumbuh di kisaran 5%. BI, memperkirakan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4,3%-5,3% pada tahun ini.
“Dan nampaknya dekat-dekat 5% masih bisa tercapai,” kata Destry dalam seminar mengenai. Kondisi Indonesia lebih baik dari negara-negara lain. Sementara itu, IMF, Bank Dunia dan ADB melakukan koreksi pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara tetangga ASEAN dan China.
“Kita masih bersyukur ekonomi tumbuh 5% dan bahkan kredit tumbuh 9% di Agustus,” lanjutnya.
Kondisi ekonomi domestik yang kuat ini, menurut Destry, dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama, Indonesia memiliki konsumsi dan investasi domestik yang kuat. Dua kegiatan ini menyumbang 90% dari PDB Indonesia.
“Kita tambah lagi dengan government spending yang mulai terakselerasi pada kuatal II dan kita perkirakan semester II lebih baik dari semester I,” ungkap Destry.
Sayangnya, ekspor Indonesia melemah. Hal ini dipicu oleh penurunan harga komoditas, lemahnya permintaan global dan lesunya ekonomi China yang menjadi mitra dagang utama Indonesia. Meskipun ekonomi Indonesia relatif kuat, Destry mengingatkan semua pihak harus yakin bahwa gejolak dan ketidakpastian masih ada.