Jakarta – Pasar obligasi pemerintah Indonesia terpantau merana pada perdagangan Jum’at 2/2/24 pagi hari dan membuat pasar keuangan RI lainnya seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ikut merana.
Berdasarkan data dari Refinitiv per pukul 10:21 WIB, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi pemerintah RI naik 2,7 basis poin (bp) ke posisi 7,052%, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan kemarin di 7,025%
Diketahui, yield SBN tenor 10 tahun sudah bertahan di kisaran 6,9% sejak Selasa pekan lalu, di mana kenaikannya sudah mencapai 13,3 bp. Bahkan sejak 4 September lalu, kenaikan yield SBN tenor 10 tahun sudah mencapai 68 bp, di mana saat itu yield SBN tenor 10 tahun masih di 6,42%.
Naiknya yield SBN menandakan bahwa harganya sedang mengalami penurunan dan investor sedang melepasnya. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Kenaikan yield membuat IHSG dan rupiah ikut terseret dan terkoreksi cukup dalam. Per pukul 10:26 WIB, IHSG ambruk 1,25% ke posisi 6.853,932. IHSG terkoreksi ke level psikologis 6.800 pada pagi hari ini.
Sedangkan untuk rupiah berdasarkan data dari Refinitiv per pukul 10:29 WIB melemah 0,32% ke Rp 15.625/US$.
Naiknya yield SBN diikuti oleh koreksi parah IHSG dan rupiah terjadi karena masih melonjaknya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) hingga kemarin.
Yield Treasury acuan tenor 10 tahun naik 19 basis poin (bp) ke posisi 4,821%, nyaris menyentuh 5% dan menjadi yang tertinggi sejak 2007 silam.
Masih melonjaknya yield Treasury terjadi karena prospek era suku bunga tinggi sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat, membuat pasar semakin khawatir.
Inventor kini memprediksi suku bunga dapat lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Biaya pinjaman yang lebih tinggi berdampak negatif bagi dunia usaha dan konsumen.
Menurut Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic mengatakan tidak ada urgensi bagi bank sentral untuk menaikkan suku bunga kebijakannya lagi, namun kemungkinan akan memakan waktu yang lama sebelum penurunan suku bunga dianggap tepat.
Sedangkan menurut Presiden The Fed Cleveland, Loretta Mester mengatakan dia terbuka untuk menaikkan suku bunga lagi, kemungkinan pada pertemuan bank berikutnya.
Sementara itu, ekspektasi pasar mengenai kebijakan ketat The Fed semakin kencang. Perangkat FedWatch Tool menunjukkan sekitar 30,9% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bp pada November mendatang. Angka ini lebih besar dibandingkan pekan lalu yang hanya 14%.
Di lain sisi, data menunjukkan lowongan pekerjaan di AS secara tak terduga meningkat pada bulan Agustus, memicu kekhawatiran tentang ketatnya pasar tenaga kerja menjelang laporan utama pekerjaan bulanan AS pada Jumat pekan ini.
Jika data tenaga kerja Negeri Paman Sam masih cukup kuat, maka The Fed berpotensi belum akan merubah sikapnya menjadi dovish.
Apalagi, jika inflasi AS di bulan-bulan berikutnya masih jauh dari target yang ditetapkan The Fed di 2%, maka The Fed juga akan ‘kekeuh’ mempertahankan sikap hawkish-nya.