Kemandirian keuangan daerah menjadi kunci dalam mewujudkan pembangunan daerah yang maju dan sejahtera. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pendanaan utama daerah. Kemandirian keuangan daerah merupakan kunci utama dalam mewujudkan pembangunan daerah yang maju dan sejahtera. Hal ini dapat dicapai dengan memenuhi 4 indikator utama dari kemandirian keuangan daerah, yang menjadi tolok ukur kemampuan daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, yaitu:
- Indikator Hasil Pencapaian PAD.
Indikator ini diukur dari rasio PAD terhadap total pendapatan daerah. Rasio yang semakin tinggi menunjukkan semakin besarnya kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Hal ini mencerminkan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri dan mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat.
- Indikator Kemampuan Membiayai Belanja Wajib.
Indikator ini diukur dari rasio belanja wajib terhadap total pendapatan daerah. Rasio yang semakin kecil menunjukkan semakin mampunya daerah membiayai belanja wajibnya. Belanja wajib merupakan belanja yang harus dipenuhi oleh daerah untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, seperti gaji pegawai, tunjangan pensiun, dan bunga utang.
- Indikator Kemampuan Membiayai Belanja Modal.
Indikator ini diukur dari rasio belanja modal terhadap total pendapatan daerah. Rasio yang semakin besar menunjukkan semakin mampunya daerah membiayai belanja modalnya. Belanja modal merupakan belanja yang digunakan untuk pengadaan atau penyempurnaan aset tetap, seperti pembangunan infrastruktur, pengadaan peralatan, dan pengembangan system informasi
- Indikator Kemampuan Membayar Utang.
Indikator ini diukur dari rasio sisa anggaran untuk belanja (SAL) terhadap total pendapatan daerah. Rasio yang semakin besar menunjukkan semakin mampunya daerah membayar utangnya. SAL merupakan sisa anggaran yang dapat digunakan untuk membiayai belanja setelah dipenuhi belanja wajib dan belanja modal.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tahun 2020, mengungkapkan adanya fakta yang memprihatinkan terkait kemandirian fiskal daerah di Indonesia. Hanya 10 dari 503 pemerintah daerah (pemda) atau 2% yang berhasil mencapai kategori mandiri fiskal. Sementara itu, 443 pemda (88,7%) masih terjebak dalam kategori belum mandiri. Fakta ini menjadi tamparan keras bagi upaya desentralisasi dan otonomi daerah yang telah digulirkan sejak lama. Ketergantungan tinggi pemda pada dana transfer dari pemerintah pusat (dana bagi hasil dan lain-lain) menghambat laju pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Terdapat beberapa faktor yang mendasari rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah di Indonesia, antara lain:
- Lemahnya Basis Pendapatan Asli Daerah (PAD): Banyak daerah yang masih memiliki basis PAD yang kecil dan belum optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti minimnya potensi ekonomi, lemahnya sistem pemungutan pajak dan retribusi, serta kurangnya kepatuhan wajib pajak dan wajib retribusi.
- Ketidakseimbangan Alokasi Dana Transfer: Distribusi dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah belum merata dan proporsional. Daerah-daerah miskin dan tertinggal masih mendapatkan dana yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah maju.
- Inefisiensi Pengelolaan Keuangan Daerah: Masih banyak pemda yang belum menerapkan tata kelola keuangan yang baik dan akuntabel. Hal ini mengakibatkan kebocoran keuangan dan inefisiensi dalam penggunaan anggaran.
Kemandirian keuangan daerah merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kesehatan fiskal suatu wilayah. Sebuah pemerintah daerah yang mandiri secara keuangan akan memiliki lebih banyak fleksibilitas dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan serta pelayanan publik bagi masyarakatnya. Salah satu upaya penting dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah adalah dengan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagaikan harta karun terpendam bagi daerah. Berasal dari potensi-potensi ekonomi yang dimiliki, PAD menjadi sumber pendapatan vital untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pajak daerah, retribusi daerah, hasil usaha milik daerah, serta sumber daya alam dan potensi lainnya, menjadi penyumbang utama PAD. Namun, data menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk menggali lebih dalam potensi PAD ini. Optimalisasi PAD menjadi kunci untuk mewujudkan kemandirian keuangan daerah yang kokoh. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah melalui optimalisasi PAD.
Rendahnya tingkat optimalisasi PAD di beberapa daerah disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
- Lemahnya Pemetaan Potensi PAD: Kurangnya pemahaman dan data yang akurat tentang potensi ekonomi di daerah, sehingga menghambat identifikasi sumber-sumber PAD yang potensial.
- Inefisiensi Pemungutan Pajak dan Retribusi: Sistem pemungutan pajak dan retribusi yang tidak optimal, kebocoran PAD, serta rendahnya kepatuhan wajib pajak dan wajib retribusi menjadi penghambat utama.
- Kurangnya Inovasi dan Diversifikasi PAD: Ketergantungan pada sumber PAD tradisional, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), tanpa mengembangkan sumber-sumber PAD baru dan inovatif.
Upaya konkret untuk mengoptimalkan PAD dan mencapai kemandirian keuangan daerah dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
- Pemetaan dan Pemanfaatan Potensi PAD: Melakukan pemetaan potensi PAD secara komprehensif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti Geographic Information System (GIS), serta membangun basis data wajib pajak dan wajib retribusi yang terintegrasi dan terupdate.
- Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Pemungutan PAD: Menerapkan sistem pemungutan PAD yang modern dan terintegrasi, seperti online tax system dan e-retribusi, serta memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak dan retribusi.
- Menyelaraskan Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah: Harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait pajak dan retribusi daerah dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, serta meninjau dan menyederhanakan struktur tarif pajak dan retribusi daerah untuk meningkatkan kepastian hukum dan menarik minat wajib pajak dan wajib retribusi.
- Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi: Melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya membayar pajak dan retribusi, serta memberikan insentif pajak dan retribusi daerah untuk mendorong sektor-sektor unggulan dan meningkatkan investasi di daerah.
- Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi: Memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI) dan machine learning untuk mendeteksi potensi kebocoran PAD dan meningkatkan efektivitas pemungutan PAD, serta mengembangkan aplikasi mobile untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi terkait pajak dan retribusi daerah, serta memudahkan proses pembayaran pajak dan retribusi.
- Penguatan Kelembagaan dan Kerjasama: Memperkuat kelembagaan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan instansi terkait dalam pengelolaan PAD, meningkatkan kerjasama antar instansi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam penegakan hukum terkait pajak dan retribusi daerah, serta membangun kerjasama dengan sektor swasta dan masyarakat dalam optimalisasi PAD.
- Pemantauan dan Evaluasi: Melakukan pemantauan dan evaluasi (monev) secara berkala terhadap pelaksanaan optimalisasi PAD untuk memastikan efektivitas dan efisiensi program yang dilakukan, melakukan penyesuaian dan perbaikan program optimalisasi PAD berdasarkan hasil monev, serta mengkomunikasikan hasil monev kepada publik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan PAD.
Dengan optimalisasi PAD yang terencana dan terukur, daerah dapat meningkatkan kemandirian keuangannya, mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat, dan mempercepat pembangunan daerah. Masyarakat pun akan merasakan manfaatnya melalui infrastruktur yang lebih memadai, layanan publik yang lebih berkualitas, dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan. Optimalisasi PAD bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Dengan kesadaran dan kepatuhan dalam membayar pajak dan retribusi, kita bersama-sama dapat membangun masa depan yang lebih cerah bagi daerah dan bangsa. (Prof. Dr. Dadang Suwanda., SE., MM., M.Ak., Ak. CA
Guru besar Manajemen Pemerintahan IPDN, Praktisi Keuangan Daerah)