Jakarta – KH. As’ad Said Ali mengatakan gelombang unjuk rasa besar terus berlangsung dan bahkan disertai dengan tuntutan “ pelengseran presiden”. Kalau itu serius, tuntutan itu mungkin saja berlebihan karena bukan menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat / bangsa ini dan justru menimbulkan persoalan baru yang lebih dahsyat.
Ditengah gelombang unjuk rasa tersebut muncul isu baru “ pencalonan Pak Jokowi sebagai wapres “. Dia berharap itu hanya isu yang dilempar dan digelorakan oleh oligarki. Jika benar, maka akan terjadi debat konstitusional yang liar ditengah situasi sulit. Disatu pihak mendukung , dipihak lain menolak dengan alasan “mencederai konstitusi “.
Sebabnya, jika presiden terpilih wafat atau berhalangan karena suatu hal, maka wapres akan menggantinya yang berarti menjadi presiden untuk ketiga kalinya. Secara konvensional presiden dan wakil presiden adalah dwi tunggal yang tidak terpisahkan . Berbeda misalnya , jika mantan presiden yang telah menjabat dua periode lengser dan kemudian menunggu lima tahun kemudian mencalonkan presiden kembali.
Jika benar pak Jokowi mencalonkan diri sebagai cawapres, justru akan memberikan legitimasi politik atas “ desas desus rencana pelengseran presiden sebelum 2024”. Ditengah kecenderungan krisis ekonomi internasional dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi nasional paska pandemi, isu pelengseran itu tidak boleh dianggap enteng.
Ada baiknya , elite nasional melihat persoalan nasional yang terkait dengan “isu lima tahunan pilpres” , secara lebih jernih dan konsepsional. Hal ini didasarkan bahwa baik era Presiden SBY dan Presiden Jokowi, keduanya belum berhasil mewujudkan demokrasi efektif, masih terbatas pada demokrasi traksaksional dan prosedural.
Keduanya secara makro ekonomi cukup berhasil dan bahkan pada era Presifen Jokowi menonjol dalam pembangunan sarana – prasarana. Tetapi pemerataan pendapatan masyarakat kurang berhasil dalam dua puluh tahun terakhir ini yang masih mencapai gini rasio diatas angka 35. Artinya jurang yang kaya dan miskin cukup lebar.
Kenapa dalam dua puluh tahun terakhir , pembangunan politik dan ekonomi belum mencapai tahap yang ideal ?. Akibatnya ketika bangsa Indonesia menghadapi situasi ekonomi seperti sekarang ini, pengaruh negatifnya terhadap stabilitas politik ekonomi nasional sangat terasa.
“Menurut pengamatan saya sejak mulai diterapkannya UUD amandemen ( UUD 2002. ) pada 2004 ( awal era Presiden SBY ), kita telah menyimpang dari pesan pokok para pendiri bangsa. Khususnya penghilangan GBHN ( perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang ), perubahan mendasar pasal 33 dengan merubah frasa “keadilan sosial” menjadi “ keadilan”.tegas mantan Waka-BIN lewat keterangan tertulis kepada awak media, Minggu, 18/09/22.
Menurutnya, keadilan sosial mengandung kebijakan pemerataan pendapatan masyarakat misalnya “ pola inti dan plasma “, pembangunan desa tertinggal, BUMN sebagai lokomotif pembangunan dan sebagainya. Memang pada era Presiden Jokowi ada “ proyek dana desa “ namun lebih berkonotasi politis, bukan berorientasi ekonomi yang terencana secara nasional.
Ketimpangan ekonomi itu misalnya tampak jelas dengan terjadinya kelangkaan minyak goreng. Suatu hal yang tidak boleh terjadi karena Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar dunia. Bukan rahasia lagi kalau Indonesia mengimpor kebutuhan bahan pokok mulai beras, gula, jagung, kedelai dan garam. Disinilah perlunya amandemen pasal 33 tersebut yang menjadi kewajiban generasi masa kini.
Demokrasi kita juga meniru demokrasi liberal ala Barat dan melupakan pengalaman kegagalan demokrasi liberal 1955 – 1960. Konsep demokrasi yang diterapkan sejak 2004 didasarkan pada semangat pasal 28 UUD huruf A sampai huruf I yang merupakan copy paste “ The Universal Declaration of Human Rights “ dasar demokrasi Barat. Kalau ada kemajuan demokrasi kita adalah tampilnya sejumlah generasi muda yang sukses dalam eksekutif dan legislatif.
“Secara umum, hal ini saya anggap sebagai kegagalan Generasi Angkatan 90-an yang teperangkap pada ultra liberalisme atau menjiplak demokrasi Barat. Menganggap semua yang berasal dari Barat sebagai suatu yang positif dan melupakan muatan budaya nasional yang merupakan kearifan lokal atau identitas bangsa adalah suatu hal yang keliru. Menurut Imam Mawardi ; politik suatu bangsa senantiasa merujuk pada nilai bangsa tersebut,” tambahnya.
Untung masih ada dua anak bangsa yang membela mati matian untuk membatasi berlakunya nilai demokrasi Barat secara penuh yaitu Lukman Hakim Syaifudin dan Patrialis Akbar. Keduanya usul pasal 28 huruf Y ( Negara berhak membatasi HAM seseorang jika hal itu melanggar HAM orang lain ) yang agak membatasi nilai nilai Barat. Tetapi hal itu tidak cukup, sehingga memerlukan amandemen lebih lanjut. Seperti yang kita alami pengaruh uang dalam politik melebihi akal sehat dan itulah demokrasi kita.
“Mari kita cari calon presiden dan wakil presiden yang mampu membangun konsep pembangunan politik – ekonomi- sosial yang mempunyai spektrum kedepan dan meramunya dengan nilai nilai kebangsaan dan budaya serta kearifan lokal bangsa yang nasionalis – religius. Artinya Capres dan Cawapres nasional berani mengambil inisiatif amandemen terbatas UUD seperti diatas, bisa dari militer atau dari sipil,” pungkasnya. (Red 01)