JAKARTA – Beberapa anak muda / mahasiswa menanyakan kepada saya tentang istilah “ petugas partai “ yang disampaikan oleh Ketua PDIP Ibu Megawari Soekarno Puteri saat mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres dari PDIP. Saya jawab bahwa istilah yang digunakan Ketua PDIP itu bukan hal baru, karena Presiden Jokowi juga disebut sebagai Petugas Partai oleh PDIP.
Kemudian saya memberi penjelasan sbb ; Istilah “ petugas partai “ memang tidak lazim digunakan di negara-negara demokrasi Barat. Namun istilah tersebut lebih sering dipakai di negara yang berhaluan Sosialis Kiri. Di RRC misalnya istilah “petugas partai “ disebut dengan “ Dang Yuan “ ). Presiden RRC Zi Zinping adalah “petugas partai” sekali gus merangkap Sekjen Partai Komunis Cina.
“Berbeda dengan Indonesia, RRC hanya mengenal sistem politik satu partai, beberapa partai lain yang tergabung dalam “ front nasional” hanyalah pelengkap. Lagi pula ,presiden RRC dipilih oleh politbiro PKC, bukan oleh rakyat secara langsung,” kata As’ad Said Ali dalam keterangan tertulis, kepada Nasionalnews co.id Minggu (11/6/23).
Lebi lanjut ditegaskan kembali, Oleh karena itu meskipun istilahnya sama “ Petugas Partai “ , tetapi pengertiannya mungkin berbeda, karena Indonesia mempraktekkan sistem multi partai, sehingga Presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden atau Pilpres. Dilihat dari internal PDIP , hal itu sah sah saja jika mereka menganggap capresnya “ Petugas Partai “ sebagai istilah tehnis internal partai. Tetapi mungkin tidak tepat bagi partai diluar PDIP yang memiliki karakter berbeda.
Mahasiswa itu mencecar dengan pertanyaan : apa ada motif politis – ideologis menggunakan istilah tersebut .Saya jelaskan barangkali hal itu dipengaruhi oleh kedekatan historis hubungan antara PNI yang kemudian bermetamorfosis menjadi PDIP dengan PKC.
Kenyataan itu memang merupakan tuntutan historis situasi perang dingin dan dekolonisasi saat itu termasuk pembebasan Papua Barat dari kolonial Belanda yang dibantu blok Barat.
“Dalam konteks kekinian ,tentu saja membina hubungan yang terbangun cukup lama bukanlah suatu yang terlalu negatip, apalagi RRC adalah negara besar dan bahkan bisa dianggap sebagai salah satu “ negara adidaya “. Hubungan RI dengan RRC sangat penting dilihat dari perspektif politik luar negeri bebas aktif untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan negara negara besar yang lain,” ujar As’ad Said Ali yang pernah menjabat mantan Waka-BIN.
Namun istilah “ petugas partai “ yang bernuansa sosialistis bagi mereka yang pernah menghadapi agresivitas PKI mungkin akan membangkitkan “ tanda tanya “ dan mengusik kembali peristiwa kelam masa lalu yang menimbulkan banyak korban termasuk 6 jendral.
Dikalangan umat Islam perasaan terusik itu sudah muncul , ketika saya minggu lalu dan tim PP HAM mengadakan dialog disuatu tempat di Jatim yang pada intinya “ mereka merasakan dan memandang mulai bangkitnya komunisme “.
“Oleh karena itu perkembangan – perkembangan berikutnya memerlukan sikap terbuka dari semua pihak atas dasar kesadaran bahwa kita hidup dalam era globalisasi yang mengharuskan kita berhubungan dengan banyak pihak sesuai dengan kepentingan nasional.. Namun pada saat yang sama tidak harus menghilangkan sensivitas aspek historis masa lalu dan kepentingan nasional masa kini dan depan yang dilandaskan pada Pancasila untuk kebesaran Indonesia,”tutup As’ad sebagai tokoh bangsa yang dikenal low profile dan humanis.
(Red-03/budi)