Jakarta – Indonesia merupakan negara yang mempunyai posisi sangat strategis di Asia Pasifik dalam konteks percaturan politik global. Oleh karena itu kemungkinan gangguan , baik dari dalam atau luar negeri dalam pilpres yad tidak bisa diabaikan. ATHG ( Ancaman, Tantangan, Hambatan, Gangguan ), merupakan gradasi atau tingkatan besar kecil ancaman dengan urutan mulai “gangguan” , naik menjadi “hambatan” kemudian “;tantangan” dan klimaksnya menjadi “ ancaman “ terhadap stabilitas – integritas nasional.
ATHG yang bersumber didalam negeri misalnya berlangsungnya polarisasi politik dan eksploitasi isu SARA dalam pemilu parlemen atau pilres. Keduanya berpotensi menimbulkan konflik masyarakat. Isu politik identitas dan isu penistaan agama misalnya merupakan sumber konflik yang seharusnya tidak dijadikan sebagai komoditas politik. Salah satunya gejalanya mulai muncul kepermukaan seperti dilansir dalam berita surat kabar Kompas tanggal 28 Mei 2023 tentang mulai munculnya “ kampanye hitam “.
ATHG dari luar negeri juga perlu diantisipasi. Tiga hari yang lalu karib saya dari Singapura dan Malaysia bertamu ke Tebet, Jakarta – Selatan memberi tahu soal “ campur tangan negara besar “ guna mempengaruhi hasil pemilu di Thailand dan Malaysia. Strategin yang digunakan antara lain melalui “ peretasan “ hasil pemungutan suara dan pemanfaatan medsos dan “ psy war “
“Tiga negara besar ( AS, RUSIA, RRC ):akan memberikan perhatian seksama terhadap pemilihan kursi DPR dan khususnya Presiden- Wakil Presiden. Dengan demikian , ketiga negara tersebut bukan tidak mungkin akan berusaha mempengaruhi hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui operasi intelijen. Jangankan Indonesia, Rusia dan RRC dalam pemilihan presiden Amerika Serikat yg lalu berusaha ikut memenangkan Donald Trump melalui operasi intelijen,” ungkap As’ad Said Ali, mantan Wakil kepala badan intelijen negara (Waka-BIN) sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara. Dalam keterangan tertulis, kepada media Nasionalnews minggu (28/5/23).
As’ad menjelaskan kembali, Berdasarkan pengalaman masa lalu, ketiga negara tersebut pernah menjadikan Indonesia sebagai arena atau medan perebutan pengaruh dalam era perang dingin . Pada era paska perang dingin , kejadian semacam itu bisa terulang lagi. Sebagai contoh, lima tahun lalu terjadi hubungan tegang antara AS dengan Rusia berupa saling tuduh campur tangan urusan dalam negeri masing – masing. Kemudian sejak 4 tahun lalu berlangsung perang dagang antara Amerika Serikat vs RRC. Sejak 2 tahun lalu sebagai akibat provokasi Ex NATO , meletus perang Ukraina yang melibatkan Rusia melawan AS dan beberapa negara ex NATO.
“Ketiga negara tersebut mengharapkan agar pasangan Presiden / Wakil presiden terpilih sedapat mungkin menguntungkan kepentingan mereka masing -2. Dalam satu dekade terakhir AS menganggap Indonesia cenderung lebih dekat RRC. Sementara Rusia hubungannya dengan Indonesia cukup nyaman dan tentunya berkepentingan hubungan dengan Indonesia tetap baik. Sama dengan AS, Rusia juga tidak menghendaki Indonesia mempunya hubungan yang lebih dekat dengan RRC,” jelas As’ad sebagai tokoh bangsa yang dikenal low profile.
Bangsa Indoinesia sesungguhnya mempunyai cukup pengalaman dalam menghadapi persoalan dalam dan luar negeri. Sepanjang partai- partai peserta pemilu dan tokoh – tokoh nasional yang terlibat pemilihan Capres / Cawapres berpegang teguh pada visi dan misi Pembukaan dan Batang Tubuh UUD serta secara jernih melihat dan menganalisis persoalan bangsa khsusnya dengan masih cukup tingginya kesenjangan ekonomi dan tingkat koruspsi serta isu oligarki, maka segenap persoalan tersebut bisa dicarikan solusinya secara baik. Apalagi semua partai dan kontestan pilpres mengembangkan “ visi kemandirian bangsa “.
(Red-03/bud)