Jakarta – peristiwa traumatik Gerakan 30 September 1965 masih menyisakan luka, dalam sejarah perjalan bangsa Indonesia. Ada banyak kejadian dalam peristiwa tersebut yang sangat mengerikan
KH. As’ad Said Ali bercerita. Pada sekitar september 1965 di ruang tamu rumah bapaknya, H. Nursaid Ali (AMH) di Desa Golan Tepus, Mejobo Kudus, saat itu bapaknya menerima tamu seorang jaksa aktivis PKI, seorang bintara ABRI ((BODM/KORAMIL) hendak merampas simpanan 3 ton gula merah produksinya sendiri.
Bapaknya dituduh menimbun gula sehingga dianggap sebagai setan Desa. Bapaknya membela diri dengan tuduhan yang tidak benar itu. Bapaknya ngotot mengatakan bukan menimbun tapi menyimpan. Menurut bapaknya menimbun dan menyimpan itu berbeda. Menyimpan adalah membeli gula lalu disimpan kemudian dijual untuk mencari utung.
Kemudian bapaknya diam-diam menyuruhnya lari ke keamanan Desa yang masih famili yang merupakan pamanya sendiri namanya Ahsun. Pak Ahsun kemudian memukul kentongan sebagai tanda bahaya. Tak membutuhkan waktu lama para tetangga berdatangan dengan membawa arit, tombak, dan golok. Melihat hal itu pak jaksa langsung lari ngacir karena takut oleh amukan masa warga desa yang siap dengan senjata masing-masing. Hal itu merupakan pengalaman yang tidak bisa terlupakan buat KH. As’ad.
Setelah peristiwa G 30 September meletus bapaknya menolong anaknya pengurus PKI (pak Mukmin) yang ditangkap aparat karena dianggap terlibat G 30 September. Bapaknya meskipun orang kampung yang hanya lulusan pesantren ternyata sudah bisa membedakan mana politik dan mana persahabatan.
“Saya mengagumi bapak saya dan meneteskan air mata karena bapak sebagai seorang yang pemberani dan melawan tanpa rasa gentar ketika dianggap sebagai setan desa oleh seorang PKI” pungkas mantan Waka-BIN tersebut kepada awak media lewat keterangan tertulus, Selasa, 8/8/23. (Red 01)