Generasi Strawberry adalah istilah untuk menyebut generasi muda yang exist saat ini. Menyambung dari opini di redaksi sebelumnya yang menyatakan bahwa Generasi Strawberry atau yang disebut Gen-Z memiliki banyak sekali keunikan, keunggulan, dan kelebihan. Sebagian besar dari mereka yang sudah menunjukkan kesuksesannya dalam menciptakan sebuah karya, mengembangkan talenta, dan juga mengapresiasi diri. Ciri-ciri generasi Z adalah memiliki gagasan luar biasa, kreativitas tinggi untuk bereksplorasi, serta kemauan think out of the box. Mereka selalu update dan juga upgrade terhadap informasi baru tentang kemajuan teknologi, media komunikasi, sistem multimedia, engineering, entertainment, business, dan lain sebagainya.
Pada awalnya, istilah Generasi Strawberry ini muncul dari Negara Taiwan. Sapaan akrab ini ditujukan bagi para generasi muda yang dirasakan kurang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Pengertian kurang tangguh adalah rapuh dan lunak, maka dari itu diibaratkan seperti buah stroberi. Memang secara kapasitas dan kualitas generasi Strawberry dapat diandalkan dan dibanggakan, namun sisi lain dari mereka adalah mudah menyerah dan bermental lembek. Pemahaman lebih lanjut adalah generasi Strawberry gampang berkecil hati, sakit hati, tertekan, marah, dan bisa jadi terpuruk. Mungkin karena tidak memiliki kemampuan untuk bertahan di dalam tekanan, sehingga mudah sakit hati dengan cercaan, cibiran, cemooh, atau kegagalan pada pencapaian tertentu. Salah satu kecenderungan generasi ini adalah mudah down dan sulit untuk membangkitkan semangat dan mood nya lagi untuk bangkit.
Istilah generasi Strawberry semakin meluas ketika dikaitkan dengan pola asuh dan didikan di rumah masing-masing. Ketika muncul istilah generasi Strawberry, maka kemudian mencuat i istilah Strawberry Parents. Banyak informasi yang memaparkan sebuah pemahaman bahwa Strawberry Parents muncul sebagai gaya didikan atau pola asuh orang tua yang memicu lahirnya generasi Strawberry. Pola asuh orang tua yang berlebihan dengan metode didikan yang kurang benar, dapat menumbuhkembangkan anak dengan sifat dan kepribadian seenaknya sendiri. Jiwa tangguh yang seharusnya bisa dididik sejak dini menjadi pupus ketika ditimpali dengan pola asuh yang serba “tidak apa-apa” atau permakluman. Menjadi orang tua yang baik tidak diukur dari seberapa banyak materi yang diberikan kepada anak dan sejauh mana toleransi hukuman untuk kesalahan anak. Lebih tepatnya adalah menjadi orang tua dengan gaya mendidik yang benar.
Generasi Strawberry dirasa memiliki mental yang kurang ditempa atau digembleng. Bukan berarti setiap anak harus bermental baja, akan tetapi Gen-Z dapat jauh lebih tangguh menghadapi ragam kesulitan di depan mereka ketika memiliki karakter kuat. Salah satu ciri khas Strawberry Parenting adalah terlalu memanjakan anak. Orang tua takut anaknya mengalami kesulitan dan tidak bahagia, sehingga semua fasilitas diberikan meskipun itu belum semestinya didapatkan. Dampaknya, anak akan cenderung menganggap dirinya begitu spesial dan menyepelekan orang lain. Sebagai contoh barang yang barusaja dibelikan sudah rusak, orang tua mengatakan “ya sudahlah, tidak apa-apa besok beli lagi yang lebih bagus”. Hal ini membuat anak menjadi besar kepala dan tidak lagi menghargai setiap pemberian yang diberikan kepadanya. Contoh lainnya adalah orang tua yang selalu membawakan tas sekolah anaknya, karena merasa kasihan dan takut lelah mengikuti pelajaran di sekolah. Memang baik menjadi orang tua penyedia dan pemelihara tanpa harus anak merengek dan merajuk, namun tidak selalu yang baik itu benar. Sebaliknya, ketika hal benar dilakukan oleh orang tua tentunya itu baik untuk anak.
Dampak buruk dari pola asuh Strawberry Parents adalah anak tidak siap dengan berbagai tekanan yang ada di luar rumahnya. Di dalam rumah, orang tua Strawberry selalu memuji dan menyebut bahwa anaknya paling hebat, jagoan, paling top, number one, jempolan, dan lain sebagainya. Namun ketika berada di luar rumah, mungkin itu di komunitas yang berbeda, terkadang anak mengalami hal yang jauh berbeda ketika ia ada di dalam rumah. Akibatnya, mereka akan mudah tersinggung, emosi, galau, marah, dan tidak mau lagi berada di komunitas luar rumah itu. Mereka hanya akan gencar memamerkan kegalauannya di media sosial, sehingga orang lain bertanya dan akan memberikan perhatian. Generasi Strawberry sering bersikap playing victim, jadi seolah-olah dunia jahat dan tidak berpihak pada mereka. Dampak dari itu semua dikhawatirkan anak menjadi kurang adaptif dengan lingkungan sosialnya, sulit mengendalikan diri ketika marah, berkarakter buruk, serta kurang mampu bertahan di situasi sulit yang mungkin mereka hadapi.
Meskipun generasi Strawberry ini tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang kreatif, namun itu tidak sebanding dengan kemampuan mereka dalam menghadapi tekanan. Mereka terbiasa hidup nyaman dan aman dengan segala fasilitas yang ada. Ketika terhimpit oleh keadaan atau tekanan dari orang lain, maka mentalnya menjadi kecil dan menciut. Hal itu disebabkan oleh gaya didikan orang tua yang jarang memberikan hukuman. Berawal dari kata “tidak apa-apa” sebuah permakluman sejak usia kanak-kanak dapat berangsur hingga beranjak remaja bahkan sampai mereka dewasa. Orang tua jarang mengambil waktu untuk berkomunikasi secara mendalam kepada anak-anaknya tentang konsekuensi atas kesalahan yang sudah diperbuat oleh anak. Jika tidak segera ditanggulangi, maka akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak di kemudian hari.
Sebuah metode untuk mendidik generasi Strawberry yang dirasa cukup efektif adalah dengan mulai mengasah dan menumbuhkan kecerdasan adversitas atau adversity quotient. Pola asuh ini dapat dilakukan sejak dini khususnya anak-anak golden age, juga dapat diterapkan bagi anak-anak usia konkret yaitu 7-12 tahun. Jika sebelumnya belum mendapatkan pengetahuan tentang kecerdasan adversitas, maka orang tua dapat memfungsikannya di usia pemuda remaja. Pola asuh dengan menumbuhkan kecerdasan adversitas merupakan sebuah cara yang dapat mendidik anak-anak lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, mandiri tanpa didikte, mampu bertahan di tengah kesulitan yang dihadapi, dapat menahan emosi dan mengendalikan diri, serta kesadaran untuk tunduk pada otoritas.
Kecerdasan adversitas atau adversity quotient dapat dijadikan sebagai referensi dalam mendidik anak. Setiap anak terlahir dengan ragam kemampuan sesuai dengan tahap perkembangannya. Itulah yang menjadi dasar bagi orang tua untuk mengembangkan kemampuan anak tahap demi tahap. Meskipun seorang tidak tinggal bersama orang tua kandungnya mungkin diasuh oleh sanak saudara atau orang lain, bahkan tumbuh di lingkungan yang penuh dengan keterbatasan, yakinlah bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk berpikir, mengelola perasaannya, dan mempertahankan hidup dengan caranya. Masa tumbuh kembang anak memang sangat penting untuk didukung dan dimaksimalkan oleh orang tua, namun tidak perlu menggunakan cara yang berlebihan baik dalam pengasuhan, pengawasan, maupun pemberian fasilitas. Dengan demikian, anak akan bertumbuh menjadi dirinya sendiri, tidak terlalu bergantung kepada orang lain, dan mampu bertahan di setiap persoalan yang dihadapinya. (Dr. Septiana Agustin, S.Pd.,M.Pd.)